Selasa, 15 November 2016

Proposal Faktor - faktor yang mempengaruhi Laju Reaksi

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1                       Latar Belakang                                                                                                     Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis yang sarat dengan perubahan dan perkembangan. Dalam arti, pendidikan ini perlu terus menerus dilakukan perbaikan sebagai antisipasi kepentingan masa depan. Untuk  mencetak sumber daya manusia yang berkualitas diperlukan suatu pendukung kuat yaitu pendidikan yang bermutu. Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa salah satu tujuan Negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, yaitu melalui pendidikan, dimana dengan pendidikan akan dihasilkan generasi berkualitas yang akan berperan dalam pembangunan bangsa dan negara dalam era globalisasi.
Pada kurikulum 2013 disiratkan bahwa di tingkat sekolah menengah atas (SMA) menghendaki penyelenggaraan pembelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) yang tidak berorientasi pada produk semata tetapi juga menekankan terhadap aspek proses berbuat dan berfikir siswa. Hal ini bertujuan agar siswa dapat membangun dan menemukan konsepnya sendiri berdasarkan fenomena alam yang diamati di dunia nyata.             Menurut Mulyasa (2006), mata pelajaran kimia merupakan salah satu cabang dari IPA. Mata pelajaran kimia merupakan mata pelajaran yang wajib bagi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), karena selama di Sekolah Menengah Pertama (SMP) belum diajarkan sebagai mata pelajaran tersendiri. Pengalaman pendidikan yang sering dihadapi oleh guru – guru kimia di SMA adalah kebanyakan siswa menganggap mata pelajaran kimia sebagai mata pelajaran yang sulit. Sehingga tidak jarang siswa sudah terlebih dahulu merasa kurang mampu untuk mempelajari kimia. Oleh karena itu, dalam proses pembelajarannya perlu lebih menekankan pada bagaimana cara siswa mampu menguasai konsep-konsep kimia, serta keterkaitan antara konsep yang satu dengan lainnya secara utuh dan benar, sehingga konsep tertanam pada siswa bukan lagi hafalan, melainkan hasil pemahaman dan dapat diterapakan dalam kehidupan sehari-hari.                
Menurut Tanjung, N ( 2007) bahwa ada beberapa hal yang diduga menjadi penyebab kurangnya penguasaan materi kimia di SMA diantaranya; siswa sering belajar dengan cara menghapal tanpa membentuk pengertian terhadapa materi pelajaran, materi yang diajarkan sering kali mengambang sehingga siswa tidak menemukan kunci untuk memahami materi yang dipelajari, guru kurang berhasil menyampaikan konsep untuk menguasai materi yang diajarkan. Guru sebagai pendidik , idealnya harus memperhatikan model/metode pembelajaran yang tepat dalam penyampaian materi pembelajaran. Selain itu, guru harus mempunyai pengetahuan yang luas sehingga mampu mengembangkan topik pelajaran dan akhirnya siswa lebih mudah mengerti dan dapat memberikan hasil belajar yang optimum. Pemilihan metode pembelajaran yang tepat merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik. Penggunaan metode diperlukan agar penyampaian materi atau bahan ajar tercapai dengan baik. Pembelajaran ini berkaitan dengan keberhasilan proses belajar mengajar yang hasilnya akan menentukan prestasi yang akan dicapai siswa. Oleh karena itu, dalam memilih metode pembelajaran, seorang guru harus memperhatikan beberapa hal yaitu; kesesuaian metode pembelajaran dengan tujuan dan bahan ajar; kesesuaian model pembelajaran dengan lingkungan pendidikan.                                                           
Salah satu pembelajaran yang banyak melibatkan peran aktif siswa adalah model pembelajaran kooperatif jigsaw. Belajar kooperatif dapat saling menguntungkan siswa yang berprestasi rendah dengan siswa yang berprestasi tinggi. Siswa yang berkemampuan lebih tinggi dapat menjadi tutor siswa yang berkemampuan lemah, dengan demikian siswa yang berkemampuan tinggi akan lebih berkembang ketika memberikan informasi kepada temannya, sedangkan siswa lemah mendapatkan masukan dari siswa yang berkemampuan tinggi. Maka dalam kelompok tersebut akan saling  membantu dan saling melengkapi sehingga hasil belajar yang optimum akan tercapai dan pembelajaran ini dapat melatih keterampilan berkomunikasi siswa sehingga kecakapan sosial antar siswa akan meningkat.
Menurut (Slavin, 2005:246) Jigsaw adalah salah satu dari metode-metode kooperatif yang paling fleksibel. Model pembelajaran Jigsaw merupakan salah satu variasi model Collaborative Learning yaitu proses belajar kelompok dimana setiap anggota menyumbangkan informasi, pengalaman, ide, sikap, pendapat, kemampuan, dan keterampilan yang dimilikinya, untuk secara bersama-sama saling meningkatkan pemahaman seluruh anggota.
Model pembelajaran Jigsaw merupakan strategi yang menarik untuk digunakan jika materi yang akan dipelajari dapat dibagi menjadi beberapa bagian dan materi tersebut tidak mengharuskan urutan penyampaian. Kelebihan strategi ini adalah dapat melibatkan seluruh peserta didik dalam belajar dan sekaligus mengajarkan kepada orang lain (Zaini, 2008:56). Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif, siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang dengan memperhatikan keheterogenan, bekerja sama positif dan setiap anggota bertanggung jawab untuk mempelajari masalah tertentu dari materi yang diberikan dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok lain (Anonim,2008).                                                                       
Salah satu cara untuk memperoleh konsep kimia dengan benar adalah dengan benar adalah dengan mengaktifkan seluruh panca indera secara optimal, sehingga proses IPA yang sedang diamati dapat lebih utuh direkam dalam mental siswa ataupun mahasiswa (Sidauruk, 2003). Seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungannya dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan merasakannya. Semakin banyak pancaindera yang dipakai (penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan, dan sebagainya) dapat mengingat 90 %. Membaca saja mampu mengingat 20%, bila sambil mendengar 30 % yang teringat, melihat 40 %, mengulangi lagi dengan menyebutkannya 50% dan mempraktekannya menjadi 60%. Hal tersebut menunjukkan bahwa jika dilakukan kombinasi-kombinasi maka akan terjadi akumulasi peningkatan daya ingat.
Laju reaksi merupakan pokok bahasan yang dipelajari setelah termokimia. Kedua pokok bahasan ini saling terkait, karena laju reaksi berhubungan erat dengan termokimia yang membahas kalor reaksi yang juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju reaksi. Pada sub pokok bahasan faktor – faktor yang mempengaruhi laju reaksi, dipelajari antaranya pengaruh konsentrasi, luas permukaan, suhu, dan katalis terhadap laju reaksi. Topik ini dipelajari di kelas XI. Indikator yang perlu dikuasai oleh siswa setelah mempelajari topik ini adalah siswa mampu menjelaskan pengaruh konsentrasi, suhu, luas permukaan bidang sentuh dan katalisator pada laju reaksi, siswa mampu membuat dan menafsirkan grafik dari data percobaan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi, siswa mampu menyimpulkan pengaruh konsentrasi, suhu, luas permukaan bidang sentuh dan katalisator pada laju reaksi berdasarkan hasil pengamatan, dan siswa mampu menuliskan laporan hasil percobaan secara menyeluruh dan mengkomunikasikan.
Hasil wawancara dengan guru kimia SMA Negeri 2 Sampit menunjukkan bahwa topik ini cenderung disampaikan dengan menggunakan model pembelajaran konvensional yang menekankan pada ceramah. Oleh karena itu, peneliti mencoba melakukan percobaan dalam menyampaikan topik ini. Dengan harapan supaya topik ini lebih menarik dan mampu meningkatkan pemahaman konsep siswa.
Waktu yang diperlukan dalam satu kali pertemuan untuk mata pelajaran kimia sub pokok bahasan faktor – faktor yang mempengaruhi laju reaksi adalah 2 x 45 menit ( 2 jam pelajaran ). Dalam mempelajari sub pokok bahasan ini, siswa diajak untuk bereksperimen untuk menemukan kesimpulan dari empat faktor – faktor yang mempengaruhi laju reaksi tersebut. Selain itu, siswa diajak untuk dapat membuktikan konsep yang mereka terima dari guru. Berdasarkan pernyataan uraian di atas maka diajukan penelitian tentang “Pengaruh Pelaksanaan Model Kooperatif Tipe Jigsaw Terhadap Pemahaman Konsep Siswa Kelas XI IPA – 4 SMA Negeri – 2 Sampit Tahun Ajaran 2016/2017 Pada Pokok Bahasan Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Laju Reaksi”.

1.2       Identifikasi Masalah
            Salah satu topik yang dipelajari siswa di SMA adalah faktor – faktor yang mempengaruhi laju reaksi yang meliputi konsentrasi, luas permukaan bidang sentuh, suhu, dan katalis. Hasil wawancara dengan guru SMA Negeri 2 Sampit pokok bahasan faktor – faktor yang mempengaruhi laju reaksi hanya disampaikan dengan metode ceramah. Topik laju reaksi pada sub pokok bahasan faktor – faktor yang mempengaruhi laju reaksi dapat disampaikan dengan melaksanakan percobaan, oleh karena itu agar topik tersebut dapat disampaikan secara utuh diterima oleh siswa, maka sebaiknya disampaikan dengan pelaksanaan model pembelajaran jigsaw. Penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan model kooperatif tipe jigsaw terhadap pemahaman konsep siswa.
1.3       Batasan Masalah
Masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya pada pengaruh pelaksanaan model kooperatif tipe jigsaw terhadap pemahaman konsep siswa kelas XI IPA-4 SMA Negeri 2 Sampit tahun ajaran 2016/2017 tentang faktor – faktor yang mempengaruhi laju reaksi.

1.4       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana Pengaruh Pelaksanaan Model Kooperatif Tipe Jigsaw Terhadap Pemahaman Konsep Siswa Kelas XI IPA – 4 SMA Negeri – 2 Sampit Tahun Ajaran 2016/2017 Pada Pokok Bahasan Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Laju Reaksi.

1.4              Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan Pengaruh Pelaksanaan Model Kooperatif  Tipe Jigsaw Terhadap Pemahaman Konsep Siswa Kelas XI IPA – 4 SMA Negeri 2 Sampit Tahun Ajaran 2016/2017 Pada Pokok Bahasan Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Laju Reaksi.

1.5         Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1.      Siswa, memperoleh konsep yang benar dari pengalaman pengamatan melalui pelaksanaan model jigsaw.
2.      Guru, dapat menjadi referensi dalam merencanakan pembelajaran.
3.      Peneliti selanjutnya, dapat dimanfaatkan sebagai sarana informasi dan bahan acuan untuk penelitian lain yang lebih relevan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep
2.1.1 Pengertian Konsep                                                                                                   
Konsep adalah abstraksi dari fakta atau pengalaman manusia yang tidak mudah berubah karena keadaan. Melalaui perbendaharaan konsep siswa diharapkan tidak sekedar untuk memilikinya, tetapi diharapkan siswa dapat menggunakan konsep yang telah dimilikinya untuk mengorganisasikan dan mengklasifikasikan pengalamannya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya (Arifin, 1995: 38). Banyak konsep-konsep yang sudah kita peroleh, berkembang semasa kecil. Tetapi konsep-konsep itu telah mengalami modifikasi atau perubahan disebabkan karena pengalaman-pengalaman (Dahar, 1989: 81).
Menurut Ausubel (Dahar, 1989: 64) konsep-konsep dapat diperoleh dari formasi konsep dan asimilasi konsep. Formasi konsep merupakan konsep dasar atau konsep konkrit yang dimiliki oleh siswa sebelum mengikuti pembelajaran sedangkan asimilasi konsep konkrit yang dimiliki oleh siswa sebelum mengikuti pembelajaran sedangkan asimilasi konsep merupakan cara utama untuk memperoleh konsep-konsep yang baru selama mengikuti pembelajaran dan sesudah mengikuti pembelajaran.
Belajar konsep merupakan hasil utama dalam pendidikan. Konsep-konsep merupakan batu-batu  pembangun berpikir dan dasar bagi proses-proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip-prinsip. Konsep diperoleh siswa dari kehidupan sehari-hari dan dari pelajaran yang dipelajari di sekolah. Sehingga belajar konsep dapat disimpulakan adanya peristiwa interaksi anatar guru dan murid menyampaikan suatu ide abstrak yang diterima oleh siswa, sehingga ide itu selalu berkembang secara terus menerus (Dahar, 1989: 79).
Belajar konsep lebih mudah dengan menggunakan paradigma selektif daripada paradigma respentif. Penyajian bersamaan dari contoh-contoh dan noncontoh-noncontoh mengurangi tuntutan pada memori. Bila paradigma respensif digunakan, pada subjektif diperlihatkan suatu contoh dari konsep, contoh dihilangkan, lalu stimulus yang lain disajikan. Subjek harus mengingat atribut- atribut dari contoh untuk dapat memberikan respon pada stimulus yang baru tetapi, jika berbagai noncontoh timbul, subjek mungkin lipa akan atribut-atribut dari contoh (Dahar, 1989: 84).
Pada materi pelajaran terdapat berbagai aspek, antara lain: konsep, fakta, proses, nilai keterampilan, bahkan juga terdapat sejumlah masalah-masalah yang ada kaitanya dengan kehidupan masyarakat. Konsep adalah suatu idea atau gagasan atau suatu pengertian yang umum (Harjanto, 2010: 220). Jadi, belajar konsep sangat penting dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dalam Sistem Pendidikan Nasional (UU RI, 2010: 220) yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Depdiknas, 2004: 8).

2.1.2  Pemahaman Konsep
Pemahaman pada suatu konsep akan menambah daya abstraksi yang diperlukan dalam komunikasi. Pemahaman pada suatu konsep sering digunakan untuk menjelaskan karakteristik konsep lain. Sehingga makin banyak konsep dimiliki seseorang akan memberi kesempatan kepadanya untuk memahami konsep lain yang lebih luas yang kan menjadi modal guna memecahkan masalah disekitarnya (Arifin, M. 1995: 38). Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan dari pendidikan kimia yang tercantum di dalam (Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004), yaitu diharapakan “siswa dapat memahami konsep-konsep  kimia dan saling keterkaitanya dan penerapanya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari- hari dan teknologi”(Depdiknas, 2003: 8).
Menurut Asikin dalam Novriansi (2004) pemahaman terhadap konsep dan struktur suatu materi menjadikan materi itu dipahami secara lebih komprehensif. Oleh karena itu, peserta didik lebih mudah mengingat materi itu apabila yang dipelajari merupakan pola yang berstruktur. Dengan memahami konsep dan struktur akan mempermudah terjadinya transfer. Dengan kata lain pemahaman konsep yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep. Pemahaman konsep terdiri atas dua pengertian. Pertama, pemahaman konsep merupakan bagian dari konsep awal, sedangkan yang kedua, merupakan bagian dari penemuan konsep baru.
Pemahaman konsep diperoleh melalui proses belajar yang merupakan proses kognitif dengan melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses tersebut adalah: (a) meperoleh informasi baru, (b) transformasi informasi, dan (c) menguji relevansi dan ketetapan pengetahuan (Dahar, 1989). Oleh karena itu, pemahaman konsep sangat penting dan sangat diharapkan dalam proses pembelajaran.




2.1.3  Perubahan Konsep
          Menurut Poner dalam Suparno (1997), dalam proses pembelajaran terdapat dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. Di dalam asimilasi peserta didik menggunakan konsep yang telah ada untuk menghadapi gejala baru dengan suatu perubahan kecil yang berupa penyesuaian, sedangkan akomodasi merupakan perubahan konsep secara radikal. Supaya terjadi perubahn konsep secara radikal, dibutuhkan beberapa keadaan dan syarat sebagai berikut.
1.        Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang ada.
2.        Konsep yang baru harus dapat dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan persoalan atau fenomena baru.
3.        Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab persoalan yang terdahulu dan juga konsisten dengan teori – teori atau pengetahuan yang ada sebelumnya.
4.        Konsep yang baru harus berdaya guna bagi perkembangan penelitian dan penemuan yang baru.
              Perubahan konsep juga dikemukakan oleh Carey, perubahan ini ditandai dengan perubahan konsep lama dan perluasan konsep tanpa ada pengubahan konsep lama (Suparno, 1997). Perubahan konsep merupakan proses perkembangan pengetahuan yang secara terus menerus. Proses perubahan ini terjadi bila siswa aktif berinteraksi dengan lingkungan belajarnya.

2.2  Pengertian Pengaruh
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 849), “Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang atau benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.” Sementara itu, Surakhmad (1982:7) menyatakan bahwa pengaruh adalah kekuatan yang muncul dari suatu benda atau orang dan juga gejala dalam yang dapat memberikan perubahan terhadap apa-apa yang ada di sekelilingnya.
Pengertian pengaruh menurut para ahli, yaitu:
Menurut Wiryanto: pengaruh adalah seseorang yang memiliki kelebihan untuk mempengaruhi seseorang, biasanya memiliki nilai lebih dibanding orang lain yang dapat dilakukan oleh tokoh formal, yaitu tokoh resmi yang ditunjuk untuk menjadi orang berpengaruh maupun informal yang dengan kelebihannya sendiri ia dipilih oleh sebagian orang dengan sukarela.
Menurut Norman Barry pengaruh merupakan bagian dari kekuasaan yang dapat mendorong orang lain untuk bertindak seperti yang mempengaruhi walaupun tidak ada sanksi yang menyertainya.
Menurut Surakhmad pengaruh merupakan suatu kekuatan yang dimunculkan dengan sengaja dari seseorang atau dari suatu benda sehingga dapat memunculkan suatu perubahan reaksi terhadap segala sesuatu yang ada di sekeliling yang berpengaruh. 
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pengaruh merupakan suatu daya atau kekuatan yang timbul dari sesuatu, baik itu orang maupun benda serta segala sesuatu yang ada di alam sehingga mempengaruhi apa-apa yang ada di sekitarnya. Jadi, pengaruh adalah hasil dari sikap yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok dikarenakan seseorang atau kelompok tersebut telah melakukan dan menjalankan kewajibannya terhadap pihak memintanya untuk menjalankan kewajiban tersebut. Oleh karena itu, kekuasaan dan pengaruh mempunyai hubungan yang sangat erat. Yaitu apabila seseorang mempunyai kekuasaan maka dia dapat mempengaruhi pihak lain untuk menjalankan kehendaknya, seperti apa yang diinginkan oleh “penguasa” tersebut dan “pengaruh” apa yang mungkin timbul.

2.3  Pembelajaran Kooperatif

2.3.1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif

Cooperative mengandung pengertian bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama (Hamid Hasan, 1996). Dalam kegiatan kooperatif, siswa secara individual mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompoknya. Jadi, belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil dalam pengajaran yang memungkinkan siswa bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok tersebut (Johnson, et al., 1994; Hamid Hasan, 1996). 
Pembelajaran kooperatif adalah model mengajar       dengan mengelompokkan siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil. Pada kelompokkelompok kecil tersebut terdiri atas siswa-siswa dengan tingkat kemampuan yang berbeda, siswa menggunakan sejumlah kegiatan belajar untuk mengembangkan pemahaman terhadap suatu konsep atau sub konsep (Sutanto, 2001).
Pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran di mana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaborasi yang beranggotakan empat orang untuk menguasai materi yang disampaikan oleh guru (Slavin, 2008 : 8).
Pembelajaran kooperatif mencakup suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama lainnya (Suherman, 2003 : 260). Bukan pembelajaran kooperatif jika siswa duduk bersama dalam kelompok-kelompok kecil dan seluruh kelompok. Pembelajaran kooperatif menekankan pada kehadiran teman sebaya yang berinteraksi antar sesamanya sebagai sebuah tim dalam menyelesaikan atau membahas sebuah masalah tugas. Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar” (Nurhadi, 2004: 112).
Pada dasarnya cooperative learning mengandung pengertian sebagai suatu sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih dimana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Cooperative learning juga dapat diartikan sebagai suatu struktur tugas bersama dalam suasana kebersamaan di antara sesama anggota kelompok. Dalam pembelajaran menggunakan cooperative learning, pengembangan kualitas diri siswa terutama aspek afektif siswa dapat dilakukan secara bersama-sama. Suasana belajar yang berlangsung dalam interaksi yang saling percaya, terbuka, dan rileks di antara anggota kelompok memberikan kesempatan bagi siswa untuk memperoleh dan memberri masukan di antara mereka untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai, dan moral, serta keterampilan yang ingin dikembangkan dalam pembelajaran. 
Siswa dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, maka perlu diajari keterampilan-keterampilan kooperatif sebagai berikut (Nurhadi, 2004: 35) : Pertama, berada dalam tugas; siswa tetap berada dalam kerja kelompok, menyelesaikan tugas yang menjadi tanggung jawabnya sampai selesai dan bekerja sama dalam kelompok sesuai dengan kesepakatan kelompok, ada kedisiplinan tersebut, siswa akan menyelesaikan tugasnya dalam waktu yang tepat dengan ketelitian yang baik. Kedua, membagi giliran dan tugas; siswa bersedia menerima tugas dan membantu menyelesaikan tugas. Keterampilan ini penting karena kegiatan akan selesai pada waktunya dan kelompok akan lebih bangga terhadap peningkatan efektifitas dalam mempersiapkan tugas-tugas yang diemban. Ketiga, mendorong partisipasi; siswa memotivasi teman sekelompok untuk memberikan kontribusi terhadap tugas kelompok. Hal ini penting karena anggota kelompok akan merqasa bahwa mereka amat dibutuhkan, dan mereka juga merasa dihargai yang selanjutnya akan menumbuhkan rasa percaya diri. Keempat, mendengarkan dengan aktif; siswa mendengarkan dan menyerap informasi yang disampaikan teman dan menghargai pendapat dari teman. Keterampilan ini penting sebab mendengarkan secara aktif berarti memberikan perhatian  kepada yang sedang berbicara, sehingga anggota kelompok yang menjadi pembicara akan merasa senang dan akan menambah motivasi belajar bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Kelima, bertanya; keterampilan bertanya yang dimaksud adalah siswa menanyakan informasi atau penjelasan lebih lanjut dari teman sekelompok, jika tidak ada pemecahan maka tiap anggota kelompok wajib mencari pustaka yang mendukung, jika tidak terselesaikan baru bertanya kepada guru. 
Kesimpulan dari beberapa pengertian di atas bahwa model pembelajaran kooperatif adalah suatu kumpulan strategi pembelajaran dimana siswa bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecil agar dapat lebih mudah menemukan atau memahami konsep-konsep yang sulit melalui diskusi.

2.3.2. Ciri-Ciri Pembelajaran kooperatif

Pembelajaran kooperatif menurut Ibrahim dkk. (2006 : 6) memiliki ciriciri sebagai berikut: (1) Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya; (2) Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah; (3) Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, dan jenis  kelamin berbeda-beda; (4) Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu.
Sedangkan tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif menurut Nur (2005 : 3) adalah sebagai berikut : (1) Penghargaan kelompok; pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan-tujuan kelompok untuk memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapi kriteria yang telah ditentukan oleh penampilan individu sebagai anggota kelompok dalam menciptakan hubungan antar personal yang saling mendukung, saling membantu, dan saling peduli. (2) Pertanggungjawaban individu; keberhasilan kelompok tergantung dari semua anggota kelompok.  Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan pada aktivitas anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan seiap anggota siap untuk menghadapi tes dan tugastugas lainnya tanpa bantuan teman sekelompoknya. (3) Kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan; pembelajaran kooperatif metode skoring yang mencakup nilai perkembangan   berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini baik yang berprestasi rendah, sedang atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik pada kelompoknya.
Roger dan David Johnson menyatakan bahwa ”untuk mencapai hasil yang maksimal perlu diterapkan unsur-unsur pembelajaran kooperatif”. Unsurunsur model pembelajaran kooperatif meliputi ”saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antar anggota, dan evaluasi proses kelompok” (Anita Lie, 2002 : 30). Kelima unsur tersebut akan dijabarkan sebagai berikut: Pertama, saling ketergantungan positif ; pengajar perlu menciptakan kelompok kerja yang efektif dalam pembelajaran.Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif ini perlu disusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain bisa menyelesaikan tugasnya sendiri dan lainnya bisa mencapi tujuan mereka. Dalam Jigsaw Aronson menyarankan jumlah anggota kelompok dibatasi sampai empat orang anggota saja dan keempat orang tersebut berkumpul dan bertukar pikir informasi. Selanjutnya guru mengevaluasi mereka mengenai seluruh bagian. Dengan cara ini mau tidak mau setiap anggota merasa bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugasnya agar yang lain bisa berhasil. Kedua, Tanggung jawab perseorangan; tanggung jawab perseorangan merupakan akubat lain dari unsuryang pertama.   Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran kooperatif, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Kunci keberhasilan metode ini adalah kesiapan guru dalam penyusunan tugasnya. Ketiga, tatap muka; setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi ynag menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing. Keempat, komunikasi antar anggota; pengajar perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi sebelum menugaskan siswa dalam kelompok. Tidak semua siswa mempunyai keahlian mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Kelima, evaluasi proses kelompok; pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok, untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerjasama mereka agar selanjutnya bisa bekerjasama dengan lebih efektif.
Unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut : (1) siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka ”sehidup sepenanggungan bersama”, (2) siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya seperti milik mereka sendiri, (3) siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama, (4) siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompoknya, (5) siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah atau penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok, (6) siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya, (7) siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif (Ibrahim, 2000 : 6).

2.4     Model Kooperatif Jigsaw
2.4.1  Pengertian Model Pembelajaran Jigsaw                                                                             Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan dan diuji oleh Elliot Arronson dan rekan-rekannya di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan kawan-kawan di Universitas John Hopkin (Sugianto, 2010:45).                          
          Jigsaw adalah salah satu dari metode-metode kooperatif yang paling fleksibel (Slavin, 2005:246). Model pembelajaran Jigsaw merupakan salah satu variasi model Collaborative Learning yaitu proses belajar kelompok dimana setiap anggota menyumbangkan informasi, pengalaman, ide, sikap, pendapat, kemampuan, dan keterampilan yang dimilikinya, untuk secara bersama-sama saling meningkatkan pemahaman seluruh anggota.
       Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Sudrajat, 2008:1). Model pembelajaran Jigsaw merupakan strategi yang menarik untuk digunakan jika materi yang akan dipelajari dapat dibagi menjadi beberapa bagian dan materi tersebut tidak mengharuskan urutan penyampaian. Kelebihan strategi ini adalah dapat melibatkan seluruh peserta didik dalam belajar dan sekaligus mengajarkan kepada orang lain (Zaini,2008.)


2.4.2  Penerapan Model Pembelajaran Jigsaw                                                                             Pada pembelajaran model Jigsaw para siswa bekerja dalam tim yang heterogen. Para siswa tersebut diberikan tugas untuk membaca beberapa bab atau unit, dan diberikan lembar ahli yang terdiri atas topik-topik yang berbeda yang harus menjadi fokus perhatian masing-masing anggota tim saat mereka membaca. Setelah semua peserta didik selesai membaca, siswa dari tim berbeda yang mempunyai fokus topik sama bertemu dalam kelompok ahli untuk menentukan topik mereka. Para ahli tersebut kemudian kembali kepada tim mereka dan secara bergantian mengajari teman satu timnya mengenai topik mereka.                                       Selanjutnya para siswa menerima penilaian yang mencakup seluruh topik dan skor kuis akan menjadi skor tim. Skor-skor yang dikontribusikan para siswa kepada timnya didasarkan pada sistem skor perkembangan individual dan para siswa yang timnya meraih skor tertinggi akan menerima sertifikat atau bentuk-bentuk rekognisi tim lainnya. Dengan demikian para siswa termotivasi untuk mempelajari materi dengan baik dan untuk bekerja keras dalam kelompok ahli mereka supaya dapat membantu timnya melakukan tugas dengan baik.

Tahapan-tahapan penerapan pembelajaran model Jigsaw adalah sebagai berikut:
·           Pilihlah materi belajar yang dapat dipisah menjadi bagian-bagian. Sebuah bagian dapat disingkat seperti sebuah kalimat atau beberapa halaman.
·           Hitung jumlah bagian belajar dan jumlah peserta didik. Dengan satu cara yang pantas, bagikan tugas yang berbeda kepada kelompok peserta yang berbeda.
·           Setelah selesai, bentuk kelompok Jigsaw Learning. Setiap kelompok  ada seorang wakil dari masing-masing kelompok dalam kelas.
·           Kemudian bentuk kelompok peserta didik Jigsaw Learning dengan jumlah sama.


2.5  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Reaksi
Pengalaman menunjukan bahwa serpihan kayu terbakar lebih cepat daripada balok kayu, hal ini berarti bahwa laju reaksi yag sama dapat berlangsung dengan kelajuan yang berbeda, bergantung pada keadaan zat pereaksi. Dalam bagian ini akan dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi. Pengetahuan tentang hal ini memungkinkan kita dapat mengendalikan laju reaksi, yaitu melambatkan reaksi yang merugikan dan menambah laju reaksi yang menguntungkan.
1. Konsentrasi Pereaksi
Konsentrasi memiliki peranan yang sangat penting dalam laju reaksi, sebab semakin besarkonsentrasi pereaksi, maka tumbukan yang terjadi semakin banyak, sehingga menyebabkan laju reaksi semakin cepat. Begitu juga, apabila semakin kecil konsentrasi pereaksi, maka semakin kecil tumbukan yang terjadi antar partikel, sehingga laju reaksi pun semakin kecil.

2. Suhu
Suhu juga turut berperan dalam mempengaruhi laju reaksi. Apabila suhu pada suatu rekasi yang berlangsung dinaikkan, maka menyebabkan partikel semakin aktif bergerak, sehingga tumbukan yang terjadi semakin sering, menyebabkan laju reaksi semakin besar. Sebaliknya, apabila suhu diturunkan, maka partikel semakin tak aktif, sehingga laju reaksi semakin kecil.
3. Tekanan
Banyak reaksi yang melibatkan pereaksi dalam wujud gas. Kelajuan dari pereaksi seperti itu juga dipengaruhi tekanan. Penambahan tekanan dengan memperkecil volume akan memperbesar konsentrasi, dengan demikian dapat memperbesar laju reaksi.

4. Katalis
Katalis adalah suatu zat yang mempercepat laju reaksi kimia pada suhu tertentu, tanpa mengalami perubahan atau terpakai oleh reaksi itu sendiri. Suatu katalis berperan dalam reaksi tapi bukan sebagai pereaksi ataupun produk. Katalis memungkinkan reaksi berlangsung lebih cepat atau memungkinkan reaksi pada suhu lebih rendah akibat perubahan yang dipicunya terhadap pereaksi. Katalis menyediakan suatu jalur pilihan dengan energi aktivasi yang lebih rendah. Katalis mengurangi energi yang dibutuhkan untuk berlangsungnya reaksi.

5. Luas Permukaan Sentuh
Luas permukaan sentuh memiliki peranan yang sangat penting dalam laju reaksi, sebab semakin besar luas permukaan bidang sentuh antar partikel, maka tumbukan yang terjadi semakin banyak, sehingga menyebabkan laju reaksi semakin cepat. Begitu juga, apabila semakin kecil luas permukaan bidang sentuh, maka semakin kecil tumbukan yang terjadi antar partikel, sehingga laju reaksi pun semakin kecil. Karakteristik kepingan yang direaksikan juga turut berpengaruh, yaitu semakin halus kepingan itu, maka semakin cepat waktu yang dibutuhkan untuk bereaksi; sedangkan semakin kasar kepingan itu, maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk bereaksi.
 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1     Jenis Penelitian
            Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif. Menurut Sukmadinata (Ardhana, 2008) penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena – fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya.

3.2     Defenisi Operasional Penelitian
1.       Pengaruh dalam konteks ini adalah pengaruh perubahan konsep siswa melalui pendekatan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yang ditinjau dari hasil pretest, saat percobaan, dan post test siswa.
2.       Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif yang mengacu pada belajar kelompok siswa, dimana siswa ditempatkan ke dalam tim beranggotakan 6-7 orang menggunakan pola kelompok asal dan kelompok ahli.
3.       Pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw meliputi pemberian tes awal disebut pretest yang mencakup konsep faktor – faktor yang mempengaruhi laju reaksi, hal ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan awal dan pengetahuan siswa terhadap konsep yang akan diajarkan. Pemberian sub pokok bahasan faktor – faktor yang mempengaruhi laju reaksi menggunakan pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Saat percobaan bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam mengamati dan membuat kesimpulan dari data hasil percobaan. Pemberian post test untuk mengetahui kemampuan akhir setelah siswa setelah mengalami proses belajar.

3.3     Subjek Penelitian
          Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA -4 dengan berjumlah 27 orang.

3.4     Tahap – Tahap Penelitian
          Prosedur penelitian secara garis besar dilakukan melalui beberapa tahapan, sebagaimana dipaparkan di bawah ini.

3.4.1  Tahap Persiapan
                        Tahap persiapan ini meliputi perijinan, observasi sekolah, pelaksanaan pembelajaran, penyusunan instrumen penelitian. Penjelasan setiap tahap persiapan adalah sebagai berikut :
1)      Perijinan
         Perijinan kegiatan penelitian diawali dengan pengajuan kepada Dekan FKIP UNPAR yang diketahui oleh Ketua Program Studi Pendidikan Kimia dan Ketua Jurusan Pendidikan MIPA. Kemudian dilanjutkan ke Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (Dikpora) Palangka Raya hingga keluar surat ijin. Surat ijin ini dugunakan sebagai pengantar ke tempat penelitian yaitu SMA Negeri 2 Sampit.


2)      Observasi
         Tahapan berikutnya adalah observasi ke sekolah tempat dilakukannya penelitian. Observasi bertujuan untuk mengetahui keadaan sekolah, kurikulum yang digunakan dan bagaimana proses belajar mengajar yang terjadi di sekolah sasaran, terutama di kelas XI IPA yang akan dijadikan sampel penelitian. Setelah melakukan observasi sekolah tahap selanjutnya adalah penyusunan skenario pembelajaran untuk sub pokok bahasan faktor – faktor yang mempengaruhi laju reaksi. Langkah – langkah pembelajaran disesuaikan dengan acuan dan karakteristik model yang akan digunakan dalam pembelajaran.

3)      Penyusunan instrumen penelitian
         Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal tes pemahaman konsep yang diberikan pada siswa sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) pembelajaran berlangsung. Instrumen dikembangkan sesuai dengan indikator dan mengacu pada KTSP, terlihat pada Tabel 3.1.
No.
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Indikator
1
Memahami kinetika reaksi, kesetimbangan kimia, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta penerapannya dalam  kehidupan sehari-hari dan industri.
Mendeskripsikan pengertian laju reaksi dengan melakukan percobaan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi.

1.1 Menentukan pengaruh luas permukaan terhadap laju reaksi
1.2   Menentukan pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi
1.3  Menentukan pengaruh suhu terhadap laju reaksi
1.4  Menentukan pengaruh katalis terhadap laju reaksi



                    
       
        Instrumen penelitian divalidasi oleh dua orang rater yaitu dua Dosen Pendidikan Kimia yang diketahui oleh Ketua Program Studi Pendidikan Kimia FKIP UNPAR. Instrumen divalidasi dengan melakukan validasi isi terhadap soal tes pemahaman konsep yang diberikan pada siswa sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) berdasarkan indikator pembelajaran dan berdasarkan hasil validasi instrumen dinyatakan valid dan layak digunakan sebagai alat pengumpul data. Validasi isi adalah validitas yang ditilik dari segi isi tes itu sendiri sebagai alat pengukur hasil belajar yaitu sejauh mana tes hasil belajar sebagai alat pengukur hasil belajar peserta didik , isinya telah dapat mewakili secara representatif terhadap keseluruhan materi atau bahan pelajaranyang seharusnya diteskan atau diujikan (Sujiono, 2005). Hasil validasi tes isian (dikategorikan soal komunikatif dan sesuai indikator). Penilaiannya dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Kompetensi Dasar
Instrumen
Butir Soal
Hasil Validasi
Rater 1
Rater 2
Skor
Skor
Mendeskripsikan pengertian laju reaksi dengan melakukan percobaan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi.

Pretest
A.  1, 2, 3, 4
2
2
B.  1, 2, 3
2
2
C.  1, 2, 3, 4
2
2
D. 1, 2, 3, 4

2
2
Kesimpulan
2
2
Saat Percobaan
1
2
2
2
2
2
3
2
2
4
2
2
Kesimpulan
2
2
Post test
1
2
2
2
2
2
3
2
2
4
2
2
Kesimpulan
2
2

Hasil ini menjelaskan bahwa instrumen sesuai dengan tujuan dan layak digunakan, selanjutnya dilakukan simulasi pada kelas XI IPA-3 tujuannya digunakan untuk mengetahui apakah kegiatan yang dilakukan dapat dilaksanakan dengan baik apabila terjadi kesalahan tersebut diperbaiki pada saat pengambilan data oleh peneliti.

3.4.2     Tahap Pengumpulan data
                     Tahap penelitian ini dilaksanakan meliputi tiga tahap yaitu pada saat sebelum pembelajaran(pretest), saat percobaan, dan sesudah pembelajaran berlangsung (posttest). Data post test diperoleh sebelum melaksanakan percobaan dan diskusi dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Proses pembelajaran dilakukan pada sub pokok bahasan faktor – faktor yang mempengaruhi laju reaksi. Adapun uji pelaksanaan adalah sebagai berikut :
1.      Sebelum pembelajaran, dilakukan dengan memberikan tes awal yang mencakup konsep faktor – faktor yang mempengaruhi laju reaksi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan memprediksi siswa tentang faktor – faktor yang mempengaruhi laju reaksi. Waktu pelaksanaan tes dilakukan selama 15 menit, yang diikuti oleh 27 siswa. Saat tes siswa bekerja sendiri dan tidak ada yang membuka buku sehingga hasil tes merupakan konsep awal yang dimiliki siswa sesuai dengan pemahaman dan pengetahuan awal siswa tentang faktor – faktor yang mempengaruhi laju reaksi.
2.      Saat Percobaan, dilakukan dengan memberikan LKS yang mencakup konsep faktor – faktor yang mempengaruhi laju reaksi. Hal ini bertujuan untuk menjawab prediksi siswa pada saat pretest dan untuk mengetahui kemampuan mengamati dan menyimpulkan data hasil percobaan tentang pengaruh luas permukaan, konsentrasi, suhu, dan katalis terhadap laju reaksi. Siswa dibagi menjadi 4 kelompok dalam satu kelompok terdiri dari 6-7 orang dengan kemampuan yang beragam (kemampuan atas, sedang, dan bawah). Penentuan siswa berkemampuan atas, sedang, dan bawah berdasarkan hasil wawancara dengan guru bidang studi kimia kelas XI IPA-4 SMA Negeri 2 Sampit. Berikut disajikan komposisi kelompok berdasarkan kemampuan siswa (atas, sedang, dan bawah). Pada Tabel 3.3.




Tabel 3.3
Komposisi Kelompok Percobaan Berdasarkan Kemampuan
(Atas, Sedang, dan Bawah)
Kelompok
Percobaan
Jumlah Siswa
KA
KS
KB
I
2
2
3
II
2
1
3
III
1
3
2
IV
2
2
2

             Pelaksanaan percobaan dilakukan selama 45 menit atau 1 jam pelajaran yang diikuti oleh 27 siswa. Saat mengisi LKS siswa bekerja sendiri sehingga hasil saat pelaksanaan percobaan merupakan konsep yang dimiliki siswa sesuai dengan pengamatan selama percobaan.

3.      Setelah pembelajaran dilakukan postest dengan memberikan serangkaian pertanyaan tentang faktor – faktor yang mempengaruhi laju reaksi. Post test diberikan setelah diskusi yang dilakukan selama 15 menit Posttest ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman siswa setelah mendengar penjelasan dari kelompok ahli pada saat diskusi mengenai pengaruh konsentrasi, suhu, luas permukaan, dan katalis terhadap laju reaksi. Tes dilakukan selama 15 menit, yang diikuti oleh 27 siswa. Siswa bekerja sendiri sehingga hasil postest merupakan konsep yang dimiliki siswa sesuai dengan hasil diskusi setelah melaksanakan percobaan.

3.4.3  Teknik Pengumpulan Data
            Data penelitian dijaring setelah tes tertulis bentuk isian. Langkah pengambilan data tes tertulis dilakukan peneliti dengan memberikan tes pada siswa sebelum pembelajaran (pretest), saat percobaan, dan setelah pembelajaran (postest).

3.4.4    Tahap Analisis Data
            Setelah data hasil pretest, saat percobaan, dan posttest terkumpul, maka peneliti menganalisis data untuk mendeskripsikan bagaimana pengaruh model pembelajaran koopeartif jigsaw terhadap pemahaman konsep siswa tentang faktor – faktor yang mempengaruhi laju reaksi.

3.4.5    Penarikan Kesimpulan
            Pada tahap ini peneliti mengambil kesimpulan dari hasil analisis data pada pretest, saat percobaan, dan postest.

3.5       Teknik Analisis Data
            Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu :
            Data tes kemampuan siswa berupa hasil pretest, saat percobaan dan postest dianalisis secara deskriptif. Melalui cara ini diperoleh pola respon siswa dan kesalahan yang dominan dilakukan siswa pada setiap tahap (tahap awal kegiatan dan akhir kegiatan pembelajaran) sehingga dapat dilaporkan perubahan konsepsi siswa.

3.6       Uji coba pelaksanaan
            Sebelum dilakukan pelaksanaan penelitian yang sesungguhnya, maka dilakukan uji coba terlebih dahulu. Uji coba dilakukan pada siswa yang telah memperoleh materi yaitu siswa kelas XI IPA-3. Uji coba pada siswa kelas XI IPA-3 dilakukan uji coba instrumen, bertujuan untuk melihat alokasi waktu, ketidakterbacaan soaldan untuk mengetahui apakah tahapan – tahapan pembelajaransudah terlaksana dengan baik atau tidak, serta agar peneliti mengetahui kendala – kendala apa saja yang dihadapi dalam pembelajaran sehingga diharapkan dapat diatasi sebelum penelitian dilaksanakan.
            Dari hasil simulasi diketahui bahwa waktu yang diberikan untuk mengerjakan instrumen penelitian saat pretest (15 menit), saat percobaan (1x45 menit), diskusi (15 menit), dan postest (15 menit) cukup dan dapat dikerjakan oleh siswa, dan kegiatan dapat berjalan dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar